Kamis, 14 November 2013

klimatologi : Pengaruh iklim terhadap ledakab hama & penyakit


I.                   PENDAHULUAN
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagimenjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska.  Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid,nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. 
Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman sperti penyakit kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai dan sebagainya. Sementara pada musim kemarau banyak masalah hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, serta thrips pada cabai.  Akhir-akhir ini perubahan iklim seperti peningkatan temperatur yang berkaitan dengan peningkatan kadar CO2atmosfer (Boland et al., 2004) mulai diperhatikan kalangan internasional maupun nasional. Bersumber pada data NASA Goddard Institute for Space Studies(GISS) Yayasan Pelangi menyatakan bahwa tahun dibanding tahun 1951-1980 suhu permukaan rata-rata Indonesia mengalami peningkatan 0,5 – 1 C (Kompas 4 Januari 2006). Apakah perubahan iklim tersebut berdampak pada masalah hama dan penyakit yang ada, dan apakah masalah hama- penyakit yang terkini di lapangan berkaitan dengan perubahan iklim tersebut. Tulisan ini berupaya untuk memahami hubungan faktor faktor iklim dengan perkembangan hama/penyakit, dikaitkan dengan fenomena permasalahan hama-dan penyakit terkini yang ada di lapangan.
Sumber data hama dan penyakit berasal dari data luas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang disajikan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Laporan Safari Gotong Royong Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB th 2007 di mana penulis ikut serta di dalamnya, serta pengamatan lapangan penulis di berbagai daerah di Pulau Jawa.
Beberapa dekade terakhir ini, dampak dari terjadinya perubahan iklim sangat dirasakan oleh umat manusia di semua belahan dunia. Dengan kenaikan suhu rata-rata global yang mencapai 0,8 derajat Celcius, berakibat pada adanya anomali cuaca yang ekstrem, perubahan pada periode musim, dan perubahan jumlah curah hujan. Temperatur dan suhu bumi juga mengalami peningkatan. Demikian pula dengan ancaman terhadap kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan banjir, yang polanya sering berubah-ubah dan menjadi sulit sekali diprediksi.
Dampak adanya perubahan iklim juga sangat dirasakan pada sub sektor perkebunan dan pertanian. Tingkat produktivitas tanaman dan musim tanam mulai berubah. Hal ini diduga besar akibat aktivitas yang dilakukan manusia setiap harinya menghasilkan gas rumah kaca (GRK). Perubahan iklim juga dapat dilihat pada organisme pengganggu tanaman (OPT) yang populasinya kini meningkat tajam dan tingkat penyebarannya semakin meluas. Dinamika populasi organisme pengganggu tanaman banyak mengalami perubahan. Hal ini diduga kuat akibat ketidakseimbangan antara organisme pengganggu tanaman dengan tanaman inangnya (host).
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Segitiga Penyakit
            Konsep ini berawal dari Ilmu Penyakit Tumbuhan, namun juga dapat diterapkan pada bidang ilmu hama . Pada dasarnya penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan mendukung. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul.
2.2 Pengaruh Faktor-faktor Iklim terhadap Hama          
Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor  iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan  foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga. Sebagaicontoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum 32,5º C untuk pertumbuhan nya(Bonaretal.2007).Contoh yang lain adalah pertumbuhan populasi penggerek batang padi putih berbeda antara musim kemarau dan musim hujan, sementara itu panjang hari berpengaruh terhadap diapause serangga penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata) di Jawa (Triwidodo, 1993).
Umumnya serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada terpaan air hujan. Pada percobaan dalam ruang terkontrol peningkatan kadar CO2 pada selang 389- 749µl/L meningkatkan reproduksi tungau Tetranychus urticae(Heagle et al., 2002) Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan fisiologi tanaman inang, yang akhirnya mempengaruhiketahanan tanaman terhadap hama. Temperatur berpengaruh terhadap sintesissenyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap hama. Pengaruh tidak langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami hama baik predator, parasitoid dan patogen. Sebagai contoh adalahperkembangan populasi ulat bawang Spodoptera exigua pada bawang merah lebih tinggi pada musim kemarau, selain karena laju pertumbuhan intrinsik juga disebabkan olehtingkat parasitasi dan tingkat infeksi patogen yang rendah
(Hikmah, 1997).
Secara umum, pengaruh perubahan iklim dapat dilihat dari tanaman yang mengalami tekanan atau stres karena perubahan iklim lebih rentan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman. Dampak lainnya adalah serangan hama dan mikroba termofilik lebih diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas atau kemarau dan meningkatnya temperatur. Termofilik adalah organisme yang hidup baik di suhu panas. Di sisi lainnya, organisme yang saat ini bukan sebagai organisme pengganggu tanaman, suatu saat dapat menjadi organisme pengganggu tanaman yang bisa terekspansi ke wilayah lain.
Perubahan iklim sangat mengganggu keseimbangan antara populasi serangga hama (musuh alami tanaman), dan tanaman inangnya. Dampak paling  penting dari perubahan iklim terhadap populasi serangga hama adalah adanya gangguan sinkronisasi antara tanaman inang dan perkembangan serangga hama terutama pada musim penghujan atau musim dingin. Sementara itu, adanya peningkatan temperatur juga akan lebih mendukung perkembangan serangga hama dan daya tahan hidupnya pada musim penghujan atau musim dingin. Temperatur yang meningkat dapat juga mengakibatkan serangga hama menjadi jenuh hidup di belahan selatan bumi dan dapat melakukan invasi ke belahan utara bumi.
Meningkatnya kadar CO2 di udara dapat menurunkan kualitas pakan serangga pemakan tumbuhan sebagai akibat dari meningkatnya kadar nitrogen pada daun tanaman. Sedangkan pada musim kemarau atau musim panas (meningkatnya temperatur) akan menguntungkan golongan patogen itemofilik (golongan parasit yang mampu menimbulkan penyakit pada inangnya).
Pada tanaman eksotis (impor dari daerah/negara lain) dapat memperburuk pengaruh perubahan iklim terhadap serangan hama. Hal ini akibat tanaman tersebut tidak mampu beradaptasi secara alami pada habitat bukan aslinya. Juga karena tidak adanya tanaman alami setempat yang mampu menekan populasi organisme pengganggu tanaman asing yang masuk ke wilayah tersebut.
Akibat meningkatnya temperatur udara, distribusi geografis serangga vektor patogen penyakit tumbuhan berpotensi menjadi meluas sehingga menambah jumlah individu serangga penyerang tumbuhan. Meningkatnya temperatur juga meningkatkan serangan jamur penyebab penyakit busuk akar dan pangkal batang pada tanaman berdaun lebar seperti tanaman kakao dan tanaman tembakau.
Saat musim dingin atau musim penghujan yang lebih hangat dapat berdampak pada meningkatnya serangan jamur patogen yang semula hanya dianggap sebagai penyakit minor. Sedangkan pada musim kering atau musim panas, sangat berpotensi meningkatkan serangan jamur penyebab penyakit yang sangat tergantung pada tekanan atau stres yang dialami oleh inangnya, seperti jamur patogen yang menyerang akar tanaman. Berkurangnya hari hujan diperkirakan juga dapat menurunkan serangan jamur patogen yang menyerang daun. Efek perlindungan mikroba terhadap penyakit akar dapat dipengaruhi oleh perubahan suhu atau kelembaban tanah.
2.3. Faktor-faktor iklim dan penyakit tumbuhan.
Dari konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan fisik  angat berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan, dan reproduksi patogen.
Pengaruh perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Garret et al. (2006) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses fisiologi tanaman dan patogen. Bakteri penyebab penyakit kresek pada padi Xanthomonas oryzae pv. oryzae mempunyai suhu optimum pada 30º C   (Webster  dan  Mikkelsen,  1992) ). Sementara  F. oxysporumpada bawang merah mempunyai suhu pertumbuhan optimum 28-30 º C (Tondok, 2003). Bakteri kresek penularan utamanya adalah melalui percikan air sehingga hujan yang disertai angin akan memperberat serangan.
Pada temperatur yang lebih hangat periode inkubasi penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) lebih cepat di banding suhu rendah. Sebaliknya penyakit hawar daun pada kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestanslebih berat bila cuaca sejuk (18-22 º C) dan lembab. Faktor-faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan tanaman inang. Tanaman vanili yang stres karena terlalu banyak cahaya akan rentan terhadap penyakit busuk batang yang disebabkan oleh Fusarium. Ekspresi gejala beberapa penyakit karena virus tergantung dari suhu. Dinamika lingkungan biotik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim.  
Habitat mikro daun atau disebut filoplan mempunyai tingkat kolonisasi ragi (yeast) yang lebih tinggi dibanding akar karena kemampuan mikroba tersebut untuk mentolerir kekeringan. Yeast tersebut berperan penting dalam pengendalian hayati penyakit-penyakit yang menyerang tajuk. Jenis dan kelimpahan cendawan penghuni daun bawang merah yang bersifat saprofitik dipengaruhi oleh curah hujan dan kelembaban udara relatif (Wiyono, 1997).
2.4 Perkembangan Hama-Penyakit Tanaman Terkini
Beberapa dekade terakhir ini, dampak dari terjadinya perubahan iklim sangat dirasakan oleh umat manusia di semua belahan dunia. Dengan kenaikan suhu rata-rata global yang mencapai 0,8 derajat Celcius, berakibat pada adanya anomali cuaca yang ekstrem, perubahan pada periode musim, dan perubahan jumlah curah hujan. Temperatur dan suhu bumi juga mengalami peningkatan. Demikian pula dengan ancaman terhadap kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan banjir.  Bahkan  beberapa perubahan pada tiga tahun terakhir terjadi pada masalah hama dan penyakit di Indonesia yaitu eskalasi, peningkatan status dan degradasi sehingga polanya sering berubah-ubah dan menjadi sulit sekali diprediksi.
a.      Eskalasi
Pada kondisi ini hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah makin meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thripssp. pada tanaman cabai. Pada tahun kemarau 2006 Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal dan Brebes. Pada saat itu populasi sangat tinggi dan kerusakan berat, dan dilapangan tidak ada satu pestisida sintetik pun yang efektif mengendalikannya Pada tiga tahun terakhir ini menurut pengamatan penulis dan juga Laporan Safari Gotong Royong Nastari-Klinik Tanaman IPB (2007) serangan Thripssp. Makin berat pada berbagai daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal, Pati, Klaten, Magelang dan  Wonogiri.    
Thrips lebih berkembang pada musim kemarau, akan berkembang bila kemaraunya makin kering dan suhu rata-rata makin panas. Sebagai pembanding Thrips palmi pada terong di Taiwan mempunyai suhu optimum untuk perkembangan populasi pada 25 – 30 º C (Chen dan Huang, 2004).Selain itu serangan antraknosa cabai (Colletotrichumsp.) pada tahun-tahun terakhir ini juga makin berat. Cendawan fitopatogen ini berkembang pada musim hujan dan suhu yang hangat. Pengamatan penulis juga menunjukkan bahwa ekspresi gejala antraknosa cabai tidak hanya menimbulkan busuk pada buah tetapi juga mati ranting, sekali lagi menggambarkan makin beratnya penyakit ini. Penelitian dalam ruang terkendali di Australia menunjukkan bahwa peningkatan kadar CO2  dari 350 ppm menjadi 700 ppm meningkatkan jumlah bercak dan keparahan penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada Stylosanthes (Chakraborty et al. 2002).  Apakah peningkatan antraknosa di Indonesia juga dipengaruhi peningkatan kadar CO2, masih perlu diteliti lebih lanjut.
b.      Peningkatan Status
Pada tipe ini hama/penyakit yang sebelumnya dianggap penyakit hama/penyakit minor berubah menjadi hama/penyakit penting.  Contoh dari tipe perobahan ini adalah penggerek padi merah jambu (Sesamia inferens). Sebelumnya dinyatakan bahwa keberadaan penggerek batang merah jambu tidak banyak bila dibanding penggerek batang lainnya yaitu pengerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innnotata). Pengamatan pada bulan AprilMei 2007 disejumlah tempat di Jawa yaitu Indramayu, Magelang, Semarang, Boyolali, Kulonprogo, dan Ciamis menunjukkan dominansi penggerek merah jambu dalam komunitas penggerek meningkat (Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007).
Kalshoven (1981) menyatakan bahwa penggerek merah jambu banyak berkembang di daerah-daerah kering yang mempunyai iklim kemarau yang jelas. Masih menjadi pertanyaan apakah peningkatan dominansi penggerek merah jambu berkaitan dengan musim kemarau yang lebih panjang. Pada musim hujan 2007 Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai daerah kekeringan terluas dan melebihi rata-rata 5 tahun terakhir. (http://www.deptan.go.id/setjen/humas/berita/Serangan%20OPT.htm)
Penyakit kresek/BLB (bacterial leaf blight)pada padi oleh Xanthomonas oryzae pv. oryza menjadi penyakit terpenting dalam tiga tahun terakhir. Sepuluh tahun yang lalu penyakit ini tidak pernah dianggap sebagai penyakit penting sehingga penelitian terhadapnya pun juga kurang. Suhu optimum utuk perkembangan penyakit adalah 30 C (Saddler, 2000). Karena penulatran utamanya  melalui percikan air, hujan angin akan sangat memperberat penyakit karena. Apabila terjadi peningkatan suhu rata-rata akan
mendorong perkembangan penyakit ini. Webb dalam Garret et al., (2006) juga menyatakan bahwa gen ketahanan padi terhadap X. oryzaepv. oryzaeyaitu Xa 7 terekspresi lebih baik pada suhu yang meningkat, namun gen ketahanan lainnya justru terkspresi pada suhu yang lebih rendah.
 Penyakit moler/twisting diseasepada bawang merah pada tahun 1997 tidak merupakan penyakit utama oleh petani bawang baik dataran rendah maupun tinggi (Triwidodo et al., 1997). Pada lima tahun terakhir terjadi peningkatan kejadian penyakit ini . Dua tahun terakhir penyakit ini menjadi penyakit utama pada bawnag merah di baerbagai daerah sentra produksi seperti Brebes. Menurut Tondok (2003) Fusarium oxysporum, yang merupakan penyebab penyakit ini pertumbuhan optimum in vitro adalah pada suhu 25-30 º C. Pada suhu yang tinggi umumnya tanaman lebih stres dan lebih rentan terhadap F. oxysporum. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa perubahan iklim yaitu peningkatan suhu merupakan satu satunya penyebab peningkatan status penyakit ini, karena juga terkait dengankandungan bahan organik tanah yang makin rendah, serta distribusi yang luas melalui umbi bibit,namun tampaknya cukup berkontribusi dalam peningkatan keparahan penyakit twisting.
Virus gemini merupakan contoh yang fenomenal.Lima tahun yang lalu tidak merupakan penyakit yang penting tetapi sekarang ini menjadi penyakit cabai yang paling penting hampir disemua daerah pertanaman cabai dan tomat di Pulau Jawa seperti Bogor, Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar, dan Tulungagung (Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007). Penyakit ini menimbulkan daun menjadi menguning (yellowing), dan gejala lebih jelas pada daun muda. Epidemi dari penyakit ini salah satunya ditentukan oleh dinamika populasi serangga vektor yaitu kutu kebul Bemisia tabaci. Hingga saat ini belum ada penelitian yang mendalam untuk meneliti faktor penyebab ledakan penyakit virus gemini ini. Tetapi data biologi populasi B. tabaci menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik dipengaruhi oleh suhu. Laju pertumbuhan intrinsik B. tabacipada tomat meningkat dengan meningkatnya suhu uji yaitu 0.0450(pada 17 °C) menjadi 0.123 ( 30 °C) (Bonaro et al.., 2007). Peningkatan keparahan penyakit-penyakit tanaman oleh virus yang disebabkan oleh perubahan iklim juga diramalkan oleh Boland  et al., (2004) di Kanada yang berkaitan dengan perkembangan serangga vektor.
c.         Degradasi
 Sepanjang pengamatan lapangan penulis, terjadi penurunan penyakit hawar daun tomat oleh Phytophthora infestans. Pada bulan April-Mei 2007, yang berarti musim hujan di Jawa, penyakit ini jarang sekali ditemukan pada tomat dataran tinggi. Sebelumnya dinyatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit tomat terpenting di dataran tinggi. Penyakit hawar daun tomat lebih berkembang pada kondisi yang sejuk yaitu suhu 18-22 º C dan lembab (Semangun, 1989).
Selain itupenyakit embun bulu yang disebabkan oleh Peronospora destructoryang pada tahun 1997 merupakan penyakit yang paling penting bagi petani bawang merah dataran tinggi (Triwidodo et al., 1993) Pada tahun 2007 ini sangat rendah serangannya, dan tidak dianggap penting lagi oleh petani. Boland et al., (2004) juga meramalkan bahwa dengan  peningkatan suhu penyakit hawar daun tomat/kentang oleh P. infestansdan embun bulu pada bawnag bombay di Kanada akan menurun. Fakta di atas menunjukkan indikasi kuat tentang kaitan perubahan iklim sperti peningkatan suhu dengan masalah hama dan penyakit di Indonesia. Namun demikian untuk pemahaman masalah secara komprehensif perlu dilakukan kajian yang khusus dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.
2.6  Antisipasi
Menghadapi perubahan iklim dalam kaitan dengan perkembangan hama dan penyakit tanaman diperlukan beberapa langkah yang sesuai. Kajian komperehensif dampak perubahan iklim terhadap hama dan penyakit tanaman perlu dilakukan untuk menentukan langkah yang tepat bagi pemerintah maupun petani. Selain itu diperlukan peningkatan pemahaman agroekosistem oleh petani sehingga lebih jeli mengamati dan mensikapi perubahan yang ada. Beberapa pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) yang didasari oleh pengaturan masa tanam seperti pranata mangsa dalam masyarakat Jawa perlu dikaji kembali dan di rejuvenasi menghadapi perubahan yang berlangsung. Melihat masalah hama dan penyakit yang makin berat di Indonesia dari tahunke tahun, perlu pendekatan sistem Pengendalian Hama Terpadu Biointensif (Bio-intensive IPM) yang mengoptimalkan sumberdaya hayati yang ada. Untuk itu semua, kerjasama antara petani, pemerintah (pusat-daerah), perguruan tinggi/lembaga penelitian , civil society yang riil diperlukan.

III.  KESIMPULAN
Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa:
1.      Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor  iklim baik langsung maupun tidak langsung.
2.      Perubahan iklim sangat mengganggu keseimbangan antara populasi serangga hama (musuh alami tanaman), dan tanaman inangnya.
3.      Dari konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan fisik  sangat berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit.
4.      Dengan kenaikan suhu rata-rata global yang mencapai 0,8 derajat Celcius, berakibat pada adanya anomali cuaca yang ekstrem, perubahan pada periode musim, dan perubahan jumlah curah hujan

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, PA. AA Cunningham, NG Pate, FJ Morales, PR Epstein, P. Daszak. 2004.
Emerging infectious diseases of plants: pathogen pollution, climate change and agrotechnology drivers.
Trends in Ecol. and Evol. 19: 535-543

Bonaro, O., A Lurette,, C Vidal, J Fargues.2007. Modelling temperature-dependent bionomics of Bemisia
tabaci(Q-biotype) Physiological Entomology,32: 50-55

Chakraborty, S, G Murray, N. White. 2002. Impact of Climate Change on Important Plant Diseases in
Australia. A report for the Rural Industries Research and Development

Corporation by April 2002. RIRDC Publication No W02/010 Chen, C. N., Huang, L. H., 2004.
Temperature effect on the life history traits of Thrips palmiKarny (Thysanoptera: Thripidae) on
eggplant leaf.. Plant Protec. Bull. (Taipei),46 : 99-111 demioly / Épidémiologie

Boland, G.J. M.S. Melzer, A. Hopkin, V. Higgins, and A. Nassuth. 2004. Climate change and plant
diseases in Ontario. Can. J. Plant Pathol. 26: 335–350

Garret, K.A., S.P. Dendy, E.E. Fraih, M.N. Rouse, S.E. Travers. 2006. Climate change effect to plant
disease: genome to ecosystem. Ann, Rev. Phytopathol44;489-509

Heagle, A.S. J. C. Burns, D. S. Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on
leaf chemistry and reproduction by twospotted spider mites (Acari: Tetranychidae) on white clover. Environ. Entomol. 31: 594-601

Hikmah, Y. 1997. Tingkat parasitasi larva Spodoptera exiguapada musim hujan dan musim kemarau.
Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanaian IPB.

Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta. Nastari Bogor
dan Klinik Tanaman IPB. 2007. Laporan Safari Gotong Royong Sambung Keperluan untuk Petani Indonesia di 24 Kabupaten-Kota di Pulau Jawa 4 April-2 Mei 2007.. Yayasan Nastari Bogor- Klinik Tanaman IPB.

Saddler, GS. 2000. IMI Description of Fungi and Bacteria No. 146 sheet 1457. Schwartz, H.F. dan S.K. Mohan. 1995. Compendium of Onion and Garlic Diseases. APS Press. Minnesota
Semangun, H. 1989. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta

Tondok, E. 2001. The Causal Agent of Twisting Disease of Shallot. Master Thesis. University of
Goettingen, Germany

Triwidodo, H, T.S. Yuliani, D. Prijono dan S. Wiyono. 1998. Pengembangan Teknologi dan
Pemasyarakatan PHT Bawang Merah. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Dikti. LP IPB Bogor.
Triwidodo, H. 1993. Bioecology of White Stem Borer of Rice in Indonesia. Ph D Thesis. University of
Wisconsin, Madison

Webster, R.K. dan D.S. Mikkelsen. 1992. Compendium of Rice Diseases. APS Press. Minnesota
Wiyono, S. 1997. Succession and Diversity of Shallot Phylloplane Fungi: Its Relation to Purple Blotch
Disease. Master Thesis. University of Goettingen, Germany


1 komentar:

  1. Terimakasih atas informasinya

    irhamabdulazis271.student.ipb.ac.id

    BalasHapus

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???