Kamis, 21 November 2013

Jenis-jenis sistem silvikultur di indonesia

[ Forester untadblog ]Sistem-sistem silvikultur di hutan produksi di Indonesia secara umum dikenal dengan istilah-istilah sebagai berikut:           

Sistem THPB
Sistem THPB merupakan sistem silvikultur yang paling tua, digunakan untuk membentuk tegakan hutan tanaman seumur. Pohon-pohon dalam hutan tanaman seumur, membesar bersamaan dengan ukuran pohon yang hampir seragam sehingga dapat (tidak harus) dipanen bersamaan dan diremajakan bersamaan lagi. Sistem ini bisa menghasilkan tanaman yang terdiri atas satu jenis (species) saja, disebut tegakan monokultur, bisa juga membentuk tegakan tanaman campuran (multi species). Tegakan hutan tanaman dibangun untuk membudidayakan jenis tanaman pohon yang diinginkan pasar. Produktivitas ekonomis hutan tanaman bisa sepuluh kali lebih tinggi daripada produktivitas ekonomis hutan alami. Sebagai contoh, karena terjepit oleh banyak pohon lain dalam hutan bekas tebang pilih di hutan alami produksi, pohon-pohon jenis komersial kerapatannya rendah dan hanya menghasilkan riap 1-2 m³/ha.th. Sedangkan hutan tanaman merantimerah diperhitungkan dapat mencapai riap 10-15 m³/ha.th. Hutan tanaman sering membudidayakan jenis-jenis pohon yang dapat cepat membesar (jenis bagur, fast growing tree species), karena perusahaan yang membudidayakannya ingin modalnya cepat kembali, dan
labanya dapat cepat diperoleh. Jenis-jenis hutan tanaman yang umum dijumpai dibudidayakan di Indonesia adalah: mangium (Acacia mangium), gmelina (Gmelina arborea), sengon (Falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona grandis), tusam (Pinus merkusii).
Mengapa kawasan bekas tebang habis harus ditanami pohon baru, bukankah pohon tua selalu berbuah sehingga semai alami terdapat banyak, murah-meriah? Penanaman memang mahal dan berrisiko gagal, oleh karena itu kalaulah penanaman ingin dilakukan, maka penanaman yang mahal itu harus menggunakan bibit unggul hasil program pemuliaan pohon, agar tegakan yang terbentuk berikutnya adalah tegakan yang lebih produktif atau lebih tahan risiko gagal. Penanaman setelah tebang habis dilakukan karena dua alasan: (1) karena ingin mengganti jenis tanaman untuk tujuan tertentu, misalnya untuk menghasilkan kayu pulp, (2) ingin mengganti klon yang satu dengan klon lainnya hasil pemuliaan tanaman. Sistem silvikultur THPB terdiri atas perlakuan: penataan areal kerja, penyiapan lahan, pengadaan benih dan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman muda, pemeliharaan tegakan, dan pemanenan pohon tua sekaligus. Pemerintah Indonesia sering menyebut sistem THPB sebagai sistem silvikultur intensif.

Sistem THPA
Sistem tebang habis bisa digunakan tanpa penanaman, setelah diketahui benar bahwa bekas tebang habis tersebut dipenuhi secara merata oleh semai pohon jenis yang diinginkan. Sistem ini merupakan system silvikultur yang murah, ekstensif, dan bisa saja menghasilkan produktivitas yang tinggi dari hasil pembinaan permudaan alami.16 Mungkinkah sistem THPA digunakan di hutan alami Kalimantan misalnya? Di hutan alami Kalimantan terdapat permudaan alami jenis komersial dengan kerapatan 5.000-10.000 bt/ha. Dalam sstem THPA, para rimbawan dapat memilih 100-200 bt/ha pohon binaan untuk dipelihara dengan sebaik-baiknya, terutama
membebaskan pohon-pohon binaan dari terkaman gulma. Dengan demikian penerapan sistem THPA di Indonesia sangat memungkinkan. Tetapi sampai saat ini belum pernah dilakukan.

Sistem TPTI
Hutan alami fungsi produksi di Indonesia dikelola dengan keinginan mempertahankan bentuk alaminya sebagai hutan alami campuran tidak seumur, yaitu berisi keanekaragaman hayati tinggi, dan berisi semai, pancang, tiang dan pohon. Bentuk hutan demikian hanya dapat dicapai dengan sistem tebang pilih. Hutan alami produksi diusahakan dengan sistem tebang pilih juga karena alasan ekonomis sebagai berikut:
(a) hutan alami berisi pohon kecil dan besar, sedangkan kayu yang laku dijual hanya kayu berukuran besar saja, sehingga dipanen dengan cara tebang pilih
(b) hutan alami berisi berratus jenis tumbuhan, sedangkan yang laku dijual hanya kayu dari beberapa jenis pohon saja, sehingga harus dipanen dengan cara tebang pilih,
c) hutan alami berisi kayu baik dan kayu cacat karena terlampau tua dan tidak dipelihara, sedangkan kayu yang laku hanya kayu yang mulus saja, dengan demikian panen harus menggunakan cara tebang pilih, Sistem tebang pilih di Indonesia dikeluarkan pemerintah pada tahun 1972 dengan nama Sistem Tebang
Pilih Indonesia (TPI), yang kemudian direvisi isi dan namanya pada tahun 1989 menjadi Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dan direvisi lagi pada tahun 1993 dengan nama tetap Sistem TPTI yang masih berlaku sampai tahun 2005 ini. Sistem TPTI diberlakukan di hutan alami tanah kering, hutan rawa, hutan rawa gambut, dan hutan eboni.

Sistem TPTII
Karena hutan alami produksi bekas tebang pilih menjadi sasaran konversi menjadi lahan perkebunan dan perambahan, maka Departemen Kehutanan mempromosikan pembangunan hutan tanaman meranti di hutan alami pada tahun 1997. Tujuan penanaman meranti di hutan alami adalah untuk meningkatkan motivasi pemilik perusahaan untuk memelihara hutan alami bekas tebangan, dan agar masyarakat luas sekitar hutan menghormati keberadaan perusahaaan yang menanami hutannya.


1 komentar:

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???