Kamis, 13 Juni 2013

makalah kondisi dan sifat tanah didaerah tropis


 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 
Patandianan (1996) dalam Wiharto (2007) menyatakan, bahwa sifat tanah hutan hujan tropis adalah miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas tumbuhan yang sangat tinggi. Namun, produktivitas yang sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat (Resosoedarmo et al., 1986 dalam Wiharto, 2007). Untuk bisa hidup di dunia ini, manusia sangat tergantung sekali pada tanah. Sampai batas-batas tertentu pula tanah yang baik tergantung pada manusia dan pengelolaannya. Kejayaan peradaban ini akan terus berlangsung selama manusia masih dapat menghargai dan memelihara tanahnya sebagai tubuh alam, dimana tanah di sini merupakan sumber alam yang utama. Para pakar sejarah sepakat bahwa perkembangan pengolahan lahan antara lain dimulai dari Mesopotamia, wilayah yang terletak antara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris (sekarang termasuk wilayah Irak) sekitar 4.000 tahun silam. Hal ini menyiratkan bahwa minimal sejak itu manusia telah mengetahui peranan tanah dan cara pemanfaatannya. Berkaitan dengan itu semua, seiring dengan kemajuan teknologi dan peradaban suatu bangsa di mana tanah (lahan) adalah semakin memainkan perannya terhadap hubungan manusia dengan alam lingkungannya serta berbagai kegiatannya.
Di kawasan tropika sendiri, lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk per kapita makin lama semakin menurun luasannya, hal ini disebabkan oleh semakin terbatasnya sumberdaya tanah, dan yang ada pun cenderung mengalami degradasi, selain itu juga disebabkan oleh semakin cepatnya peningkatan populasi penduduk. Tidak heran bahwa suatu populasi manusia akan selalu diiringi juga dengan tingginya pemanfaatan tanah. Jumlah negara-negara di kawasan tropis yang memiliki tingkat pemilikan lahan per kapita kurang dari 0,1 Ha pada tahun 1990 telah mencapai 8 negara, dan hal ini diprediksikan akan semakin bertambah sampai sebanyak 25 negara pada tahun 2025.
Kita yang tinggal di wilayah Kepulauan Indonesia yang merupakan bagian daerah tropis yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu kekayaan tersebut, Indonesia memiliki tanah yang sangat subur karena berada di kawasan yang umurnya masih muda, sehingga di dalamnya banyak terdapat gunung-gunung berapi yang mampu mengembalikan permukaan mudanya kembali yang kaya akan unsur hara. Untuk itu diperlukan adanya suatu usaha penataan penggunaan tanah untuk kelestarian tanah Indonesia. Penataan peggunaan tanah akan menjadikan setiap pemanfaatan lahan terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun pada implementasi sebenarnya seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri dan pembangunan, kesuburan yang dimiliki oleh tanah Indonesia banyak yang digunakan sesuai aturan yang berlaku tanpa memperhatikan dampak jangka panjang yang dihasilkan dari pengolahan tanah tersebut. Salah satu diantaranya penyelenggaraan pembangunan di Tanah Air, tidak bisa disangkal lagi telah menimbulkan berbagai dampak positif bagi masyarakat luas, seperti pembangunan industri dan pertambangan telah menciptakan lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya. Namun keberhasilan itu seringkali dibayang-bayangi oleh dampak negatif yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Kecerobohan pemanfaatan setiap satuan luas tanah berarti pemborosan potensi sumber daya dan ancaman terhadap kelestariannya. Untuk itu penguasaan ilmu pengetahuan tanah menjadi syarat mutlak untuk usaha mencegah segala bentuk ancaman kelestarian dan pemborosan pemanfaatan sumber daya tanah.
Tanah–tanah yang ada pada lahan kering tropika basah merupakan tanah yang rentan degradasi, selain disebabkan faktor alami juga akibat campur tangan manusia. Degradasi tanah ditandai dengan kondisi banjir saat musim hujan dan kekeringan cukup parah saat musim kemarau. Hal itu menunjukkan bahwa tanah tidak mampu lagi mengatur kelembaban, sehingga cepat mengering dan jenuh bila kondisi curah hujan berubah. Definisi degradasi tanah cukup banyak diungkapkan para pakar tanah, namun kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat tanah apabila dibandingkan dengan tanah tidak terdegradasi. Degradasi tanah menurut FAO (1977) adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa.
Tanah-tanah yang mendominasi kawasan tropika diantaranya adalah ordo Oxisols (22,5%) dari total luas lahan yang ada di kawasan tropika), Ultisols (10,6%), aridisol (18,4%), alfisols (16,3%), entisols (10,0%) dan Inceptisols (5,0%). Dengan beberapa pengecualian (misalnya saja pada ordo tanah Entisols, Inceptisols, aridisols, mollisols dan Histosols), maka sebagian besar tanah-tanah diwilayah tropika memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan beberapa diantaranya memiliki hubungan yang cukup erat terhadap keterbatasan-keterbatasan untuk penggunaan penanaman yang intensif. Sebagai contoh, oxisols dan ultisols secara umum mempunyai sifat-sifat fisik yang memadai bagi pertumbuhan tanaman, akan tetapi tingkat keasamannya tinggi (pH rendah), selain itu juga mempunyai permasalahan terhadap ketidakseimbangan kandungan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Alfisols dan Aridisols kemungkinan besar mempunyai sifat-sifat kimia tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan kandungan nutrisinya cukup, akan tetapi umumnya mempunyai keterbatasan pada mudahnya sifat-sifat fisik tanah yang mudah rusak/terdegradasi, misalnya saja diakibatkan oleh pemadatan/Compaction dan oleh karena erosi.
Untuk mengelola besarnya aliran permukaan (run off) maka dapat dilakukan melalui pembangunan struktur pencegah erosi (seperti : teras bangku, sengkedan, terjunan air, dan lain-lain) yang akan bermanfaat untuk menurunkan resiko yang diakibatkan oleh erosi. Pengembangan dan pengelolaan yang baik terhadap hutan tanaman di kawasan tropika haruslah mengikutsertakan keragaman dan variabilitas yang tinggi dari sifat-sifat alami tanah-tanah tropika dan respon tanah terhadap sistem manajemen/pengelolaan yang dipergunakan. Oleh karena itu maka pengetahuan mengenai sifat-sifat fisik tanah yang berkaitan erat dengan pengelolaan hutan tanaman perlu mendapat ulasan dan kajian.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini antara lain, yaitu:
1. Memaparkan sifat-sifat fisik utama yang dimiliki oleh tanah-tanah di kawasan tropika dan relevansinya terhadap kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan, sehingga seseorang dapat mengelola ruang secara tepat guna.
2. Memperluas pengetahuan kita mengenai tanah, baik dalam arti khusus maupun pengertiannya dalam arti luas serta klasifikasi dan penyebarannya di muka bumi ini.
3. Sebagai penyelesaian tugas dari mata kuliah Geografi Tanah di bawah bimbingan Bapak Drs. I Gede Sugiyanta, M.Si.

B.     Ruang Lingkup

Makalah ini membahas mengenai sifat-sifat fisik tanah di daerah tropis, mulai dari gambaran umum tentang masalah pemanfaatan tanah khususnya pada kawasan tropika sampai ulasan secara singkat mengenai sifat-sifat tanah yang banyak tersebar di daerah tropis.

BAB II
PEMBAHASAN

Penyebaran golongan tanah amat erat hubungannya dengan penyebaran tipe iklim dan penyebaran vegetasi alami. Sistem kumpulan tanah yang dinamakan suborder dan penyebarannya dengan aktivitas manusia, sehingga manusia itu sendiri dapat mengelola linkungan hidupnya secara tepat guna. Dengan begitu, manusia tidak hanya memperlakukan tanah untuk tujuan agroekonomi, tetapi juga untuk kecocokan atau tidaknya bagi keperluan teknologi bukan pertanian seperti untuk pemasangan pipa, jalan raya, bangunan, industri dan sebagainya. Untuk kepentingan tersebut, sehingga perlu mengetahui klasifikasi dan penyebarannya.
Adapun informasi/referensi mengenai pengelolaan sifat-sifat fisik tanah di wilayah tropika masih sangat sedikit. Namun demikian secara garis besar sifat-sifat fisik tanah untuk beberapa ordo tanah di wilayah tropika dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Oxisols
Nama tersebut adalah berasal dari bahasa Prancis, Oxide yang berarti oksida. Tanah oxisol adalah tanah yang telah mengalami pelapukan hebat. Warna oxisol bervariasi dari kuning ke merah, coklat sampai coklat kemerahan. Persebaran tanah oxisol paling luas di Afrika dan Amerika Selatan. Secara umum, Oxisols mempunyai struktur tanah yang baik (Trapneli dan Webster, 1986) dengan proporsi agregat-agregat mikro yang tinggi (ukuran 0.01 sampai 0.2 mm), stabil terhadap slaking dan memiliki trafficability yang moderat. Konsekuensi untuk sebagian besar ordo Oxisols adalah meskipun teksturnya berliat, namun mempunyai sifat seperti pasir halus. Laju keseimbangan infiltrasi dan konduktifitas hidrolik yang jenuh dari tanah-tanah ini akan dapat dengan mudah meningkat menjadi sangat cepat sampai pada kisaran antara 5 sampai 50 cm per jam.
Penanaman yang terus menerus dan lalu lintas kendaraan bermotor (alat-alat berat) akan meningkatkan degradasi struktural tanah-tanah ini melalui pengerasan, pemadatan, penurunan laju infiltrasi sampai pada tingkat yang rendah, tingginya run off, serta mudahnya terjadi proses erosi yang dipercepat (Accelerated erosion).

2. Ultisols
Golongan tanah ini diklasifikasikan dengan elemen formatifnya ult, singkatan dari ultimus (terakhir). Merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan paling hebat, ditandai dengan adanya pengaruh pencucian. Tanah ultisols berkembang pada daerah iklim panas tropika. Memiliki horizon argila (liat putih) yang mempunyai liat dengan kejenuhan alkalin lebih rendah dari 35%. Horizon permukaannya berwarna merah sampai kuning, menunjukkan terdapatnya akumulasi oksida besi yang bebas. Ultisols terbentuk pada region permukaan lahan tua, umumnya di bawah vegetasi hutan.
3. Alfisols
Berbeda dengan Oxisols, sebagian besar Alfisols mempunyai tekstur tanah yang ringan pada horison permukaannya dan sering mempunyai kandungan liat kurang dari 20%. Lebih lanjut, Alfisols pada wilayah Tropika sub humid dan semi arid mempunyai fraksi endapan yang rendah, mempunyai struktur yang lemah, serta dapat dengan mudah mengalami slaking, pengerasan dan pemadatan. Dikarenakan oleh faktor utama rendahnya aktifitas liat (misalnya kaolinit dan ilit) serta kandungan bahan organik yang rendah, maka sebagian besar dari Alfisols juga akan dengan mudah mengeras (hard-setting), misalnya saja kegiatan pengerasan tanah menjadi massa yang tidak berstruktur karena pengeringan.
Sebagian besar Alfisols di Afrika Barat dicirikan oleh tekstur yang kasar pada horison permukaannya dan di lapisan yang lebih dalam adalah liat atau horison argilik yang berupa konsentrasi dari kuarsa atau konkresi batu kerikil. Di bawah vegetasi yang alami, sebagian besar Alfisols (dan juga Ultisols) mempunyai kerapatan limbak (bulk density) yang rendah yaitu berkisar 1.0 t m-3 atau kurang, khususnya di wilayah-wilayah yang dicirikan oleh aktifitas hewan tanah yang tinggi, misalnya rayap dan cacing tanah. Meskipun demikian, besarnya kerapatan limbak dapat meningkat dengan cepat manakala pada tanah-tanah tersebut ada aktifitas lalu lintas alat-alat berat yang tinggi. Laju peningkatan besarnya kerapatan limbak biasanya akan cepat/tinggi pada tanah-tanah yang memiliki bahan organik sedikit dan di dominasi oleh liat-liat yang aktifitasnya rendah. Kerapatan limbak tanah dapat meningkat dari 0.8 t m-3 di bawah penutupan vegetasi alami sampai 1.4 t m-3 di lahan pertanian yang memanfaatkan alat-alat berat. Peningkatan kerapatan limbak yang besar sebagai akibat kegiatan deforestasi telah diamati di Afrika Barat oleh Lal dan Cummings (1979), Hulugalle et al (1984) dan Ghuman & Lal (1991); serta di Amazon bagian hulu oleh Alegre et al (1986).
Tabel: Kerapatan limbak (Bulk Density) tanah dan ketahanan tekanan tanah Alfisol pada kedalaman 0-5 cm di Nigeria Selatan dan akibat kegiatan deforestasi.
Perlakuan Deforestasi (Metode Penebangan yang dipakai) Sebelum Deforestasi Satu Tahun Setelah Deforestasi
Kerapatan Limbak (BD) (t m -3) Ketahanan Tekanan (kPa) Kerapatan Limbak (BD) (t m
-3) Ketahanan Tekanan (kPa)
1. Manual
2. Shear Blade
3. Tree Pusher/Root rake
4. Tradisional
5. LSD (0.05) 0.73
0.81
0.69
0.69
TS 44
30
30
17
TS 1.46
1.38
1.45
1.16
0.01 170
144
132
121
20
Keterangan: TS = Tidak Signifikan
Data yang ditunjukkan pada Tabel di atas adalah sebuah contoh peningkatan kerapatan limbak tanah yang besar sebagai akibat kegiatan deforestasi. Dimana pada kasus ini, kerapatan limbak meningkat karena adanya dua faktor yang biasanya diabaikan dalam metode pemanenan/eksploitasi hutan. Alasan mengapa di bawah tegakan hutan mempunyai kerapatan limbak yang rendah adalah dikarenakan oleh tingginya aktivitas hewan tanah seperti cacing tanah, rayap dan hewan-hewan tanah lainnya. Tanah di bawah tegakan hutan akan terasa seperti busa jika kita berjalan diatasnya, tanah ini juga ditutupi oleh lapisan tebal yang dibuat cacing setebal 3 sampai 5 cm. Selain itu pada tanah ini juga terjadi aktifitas yang intensif dari rayap-rayap maupun hewan tanah lainnya.
Deforestasi akan merubah suhu tanah dan regim kelembaban, menurunkan ketersediaan dan keanekaragaman makanan, merusak habitat, dan menurunnya aktivitas biota tanah secara drastis. Konsekuensinya adalah meningkatnya kerapatan limbak.
Ketahanan tekanan akan selaras dengan kerapatan limbaknya. Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan deforestasi, dan dibuat selama musim kering ketika kandungan lengas tanahnya rendah. Setelah kegiatan deforestasi selesai maka akan diikuti oleh kemudahan tanah di tempat tersebut mengalami pengerasan (hardsetting) yang semakin meningkat. Perkembangan pengerasan atau penutupan permukaan merupakan faktor pembatas fisik yang utama pada tanah ini karena tanah menjadi tidak terlindungi dari pengaruh jatuhnya air hujan (raindrop impact) serta cepatnya proses pengeringan setelah deforestasi.
Meningkatnya kerapatan limbak tanah (BD) sebagai akibat dari kehilangan bahan organik tanah, menurunnya keanekaragaman tanah serta pengaruh air hujan akan mengakibatkan menurunnya porositas makro dan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah (Lal dan Cummings, 1979; Ghuman et al, 1991). Besarnya laju penurunan kapasitas infiltrasi tergantung pada kondisi tanah sebelumnya. Sistem pengelolaan tanah dan pohon yang meningkatkan aktivitas hewan tanah juga menjaga tingginya kapasitas infiltrasi (Lavelle et al, 1992).
Kerentanan terhadap kekeringan (drough stress) akan semakin buruk karena lemahnya sifat struktural dan cepatnya deteriorisasi (penurunan) agregat-agregat selama kerusakan tanah, suhu tanah yang tinggi dan rendahnya kandungan lengas tanah.
4. Entisol
Entisol adalah tanah baru, tanah yang masih menunjukkan asal bahan induk. Berdasarkan klasifikasi tanah tahun 1949, golongan tanah entisol adalah Aluvial, Regosol, dan Litosol. Ciri khas Entisol adalah tanah ini belum menunjukkan perkembangan horizon yang jelas atau perkembangannya baru di mulai.
Psamment adalah group yang penting pada ordo Entisol di wilayah tropika. Konotasi dari Psamment adalah Entisol yang bertekstur pasir. Psamment didominasi oleh tekstur yang kasar dan jarang sekali kandungan halusnya dari pada pasir halus berliat pada kedalaman sampai sekitar 1 m dari permukaan. Konsekuensinya adalah bahwa tanah-tanah ini mempunyai struktur single-grain, mempunyai laju infiltrasi yang relatif lebih tinggi serta rendahnya kapasitas menahan air yang tersedia. Sebagai tambahan, jika kekeringan (drough stress) sering terjadi maka tanah-tanah ini akan mempunyai Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang sangat rendah, serta kesuburan tanah sangat rendah pula. Keberhasilan pertumbuhan tanaman pada Psamment membutuhkan adanya kegiatan konservasi kelengasan tanah dan penggunaan pupuk organik maupun pupuk-pupuk kimia dengan bijaksana untuk meningkatkan kesuburannya.
5. Aridisols
Merupakan tanah yang menduduki urutan pertama di muka bumi ini. Aridisols berasal dari Bahasa Latin ’Aridus’ yang berarti kering. Tanah ini mempunyai kandungan bahan organik yang rendah dan mengandung larutan garam yang relatif tinggi, selain itu biasanya juga terdiri dari pasir halus dan fraksi silt.
Secara umum Aridisols mempunyai tekstur kasar sampai menengah dengan proporsi bahan skeletal yang tinggi terdiri dari kerikil, plintit yang mengeras serta bekas jalan aspal di padang pasir. Beberapa adalah Gypsiferous dan Calcareous, dan dalam bentuk gundukan pasir adalah bentuk yang umum. Konsekuensinya adalah bahwa Aridisols akan mudah mengalami pengerasan dan membentuk penutup tanah serta memadat, tanah ini sering berada pada bentuk padatan yang keras meskipun pada kondisi alaminya juga menunjukkan ciri sifat hard-settingnya. Pengerasan permukaan mungkin akan mengakibatkan bagian tersebut menjadi hidrofobik karena adanya bentukan lapisan alga selama musim penghujan. Pengerasan alga sering menurunkan laju masuknya air bahkan dapat mencapai nol, meningkatkan besarnya run off, banjir bandang, dan erosi parit yang parah selama musim penghujan. Erosi oleh angin dan gangguan gundukan pasir adalah permasalahan yang timbul selama musim kering.
6. Vertisols
Tanah vertisol (Bahasa Latin, verto = terbalik), konotasinya adalah merupakan tanah yang lepas-lepas dan masuk terperosok ke celah-celah / retakan–retakan tatkala tanah kering. Vertisol adalah golongan tanah yang khas pada region-region bervegetasi savana atau stepa, di iklim tropika dan subtropika yang memiliki musim kering dan basah berganti-ganti dengan nyata. Tanah berubah-ubah kerena peralihan musim basah dan kering. Pada musim kering, tanah mengalami retak-retak, bagian yang lepas dari epipedon jatuh dan memasuki retakan-retakan sehingga tanah tanah tergambar sebagai terbalik ”verto”.
Ciri khas vertisol yang lainnya adalah tanah ini juga kaya akan pelikan liat yang tersebar merata pada tiap horizon, khususnya montmorilonit. Tingginya kandungan liat montmorilonit biasanya lebih dari 30% pada kedalaman diatas 50 cm sehingga memerlukan adanya manajemen/pengelolaan permasalahan yang khusus pada tanah-tanah ini. Sifat tersebut termasuk rendahnya laju infiltrasi, tingginya run off, kemudahan untuk dierosi oleh air dan rendahnya trafficability selama musim hujan. Vertisol juga mudah mengalami salinisasi, alkalisasi dan ketidakseimbangan nutrisi. Pemadatan dapat juga merupakan suatu masalah, khususnya pada horison sub soil.
7. Inceptisols
Istilah Inceptisols berasal dari Bahasa Latin, Incepticum yang berarti ‘mulai’. Inceptisols dapat berarti tanah muda. Tanah ini umumnya banyak ditumbuhi semak cebol dan lumut. Penyebarannya hampir dapat di semua region iklim. Tanah ini juga mendukung lingkungan yang baik untuk lahan-lahan dengan rerumputan. Di Indonesia, tanah-tanah seperti glei, geli humus termasuk ke dalam jenis tanah inseptisols. Bentangan tanah Inceptisols yang paling luas adalah di region iklim dingin yang basah, biasanya dengan salju abadi (tundra). Kelemahan tanah ini adalah sangat rentan akan terjadinya proses pencucian.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kumpulan tanah (suborder) memberikan indikasi penyebaran golongan dari jenis tanah secara sebaran geografi. Dengan adanya pengetahuan mengenai tanah, khususnya tanah yang ada di daerah tropik diharapkan kita dapat memanfaatkan tanah sebagai sumber daya yang utama dengan bijak dan tepat guna.
Pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan struktur tanah akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi dan produktivitas tanah. Untuk itu perlu sekali bagi kita untuk mengetahui sifat fisik tanah-tanah utama di daerah tropis guna menumbuhkan rasa kepedulian kita terhadap kelestarian lingkungan tempat kita tinggal. Dengan begitu, peluang untuk terjadinya kelalaian dalam hal pemanfaatan tanah/lahan dapat ditekan sekecil mungkin, kelestarian alam khususnya tanah pun dapat terjaga dengan baik. Tidak dapat disangkal pula, bahwa kelangsungan peradaban ini pun adalah sangat bergantung kepada peranan tanah tempat kita berpijak. Dalam arti sempitnya dapat dikatakan hidup kita ada di tangan kita sendiri.
Tanah yang dominan tersebar di daerah tropika ini adalah:
1. Oxisols (22,5% dari total luas lahan yang ada di kawasan tropika)
2. Ultisols (10,6%) 5. Aridisol (18,4%)
3. Entisols (10,0%) 6. Alfisols (16,3%)
4. Inceptisols (5,0%) 7. Ordo-ordo tanah lainnya hingga 17,2%.

Dari beberapa jenis tanah tersebut di atas, tanah Alfisol merupakan golongan tanah pertanian yang paling produktif apabila kondisi iklim dan pengelolaannya dalam keadaan yang baik. Pemanfaatan tanah Alfisol yang salah menyebabkan kerusakan sangat parah yang berakibat hilangnya sifat produktif tanah tersebut.
Banyaknya kecerobohan dalam pemanfaatan tanah perlu diimbangi dengan usaha yang keras yang juga melibatkan hati nurani kita untuk turut serta dalam pelestarian tanah.
B. Saran
Salah satu penyebab utama kerusakan tanah adalah di karenakan kegiatan manusia dalam memanfaatkan tanah ataupun lahan secara tidak tepat guna. Usaha menangkis segala bentuk aktivitas yang mengancam kelestarian sumber daya tanah ini sangatlah membutuhkan peranan bidang ilmu pengetahuan tanah dan teknologinya. Sebagai mahasiswa FKIP Program Studi Pendidikan Geografi yang telah menerima mata kuliah Geografi Tanah sudah seharusnya turut ambil andil dalam usaha pelestarian tanah serta mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya dalam lingkungan hidup di mana tempat mereka tinggal. Menyadari bahwa banyaknya tanah yang mengalami kerusakan, di harapkan pemerintah dapat menanggapi hal tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang ketat terhadap sanksi-sanksi kepada mereka yang tindakannya mengancam kelestarian sumber daya tanah.
Diharapkan dengan pemanfaatan tanah secara bijak dan tepat guna, kelangsungan hidup manusia yang sepenuhnya sangat tergantung pada sumber daya tanah dapat terus berlanjut tanpa disertai adanya konflik antara alam dan manusia itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Poerwowidodo. 1991. Genesa Tanah. Jilid II. Jakarta, Rajawali Pers.
Risnasari S.Hut, Iwan. 2002. Sifat Fisik Tanah Daerah Tropis,
http://library.usu.ac.id/download/fp/Hutan-Iwan4.pdf. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Kehutanan.
Sugiyanta, I Gede. 2007. Geografi Tanah, Buku Ajar. Lampung, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

……….. SILAHKAN COPAS… BY : RAHMAT HIDAYAT………………………


1 komentar:

  1. Terimakasih atas informasinya

    irhamabdulazis21.student.ipb.ac.id

    BalasHapus

sehabis membaca, tinggalkan pesan anda ya.. sehingga saya bisa tau respon dari orang-orang yang mampir diblog saya.. ok???